Kepolisian Daerah (Polda) Riau menetapkan Wakil Bupati Pelalawan Marwan Ibrahim dalam tindak pidana korupsi pengadaan lahan perkantoran Bhakti Praja. Selama ini, Marwan disebut-sebut menerima upeti sebesar Rp 1,5 miliar dari korupsi tersebut.
Demikian dikatakan Kabid Humas Polda Riau, AKBP Guntur Aryo Tejo kepada merdeka.com, Rabu (23/10). Dia menambahkan, beberapa waktu ke depan pihaknya akan kembali menetapkan seorang tersangka.
"Kelihatannya mengarah ke situ, Tengku Azmun Jaafar belum tersangka, masih Marwan Ibrahim," kata Guntur.
Mantan Bupati Pelalawan, Tengku Azmun Jaafar, juga disebut-sebut menerima upeti sebesar Rp 12,5 miliar, lebih besar dari yang diterima Marwan Ibrahim, yang saat itu menjabat sebagai Sekda Kabupaten Pelalawan. Di persidangan, Azmun Jaafar mengakui telah menerima uang tersebut saat berada di tahanan KPK.
"Jika yang menerima upeti itu terbukti, dia akan jadi tersangka, tergantung hasil penyelidikan lah," ujar Guntur.
Ketika ditanya kapan penetapan T Azmun Jaafar sebagai tersangka, Guntur memberi sinyal dalam waktu dekat. "Sepertinya menyusul, ya kita lihat nanti hasil penyelidikannya," pungkasnya.
Dalam fakta persidangan di pengadilan Tipikor Pekanbaru, terdakwa Al Azmi menyebutkan, bahwa Marwan Ibrahim menerima Rp 1,5 Miliar, dan Tengku Azmun Jaafar Rp 12,5 miliar, sesuai kwitansi yang berisi jumlah uang tersebut.
Kasus korupsi Bhakti praja ini, sedang dalam proses persidangan, empat terdakwa yakni, Lahmudin alias Atta selaku mantan Kadispenda Pelalawan. Syahrizal Hamid selaku mantan Kepala BPN Pelalawan. Al Azmi selaku Kabid BPN di Pelalawan, dan Tengku Alfian Helmi selaku staff BPN Pelalawan.
Kasus korupsi yang merugikan negara sebesar Rp 38 miliar ini bermula dari tahun 2002 hingga 2011 lalu. Di mana pada 2002 itu pihak Pemkab Pelalawan berencana membangun gedung perkantoran pemerintahan dengan nama Gedung Bhakti Praja.
Untuk pembangunan ini, pemkab Pelalawan membeli lahan kebun kelapa sawit milik PT Khatulistiwa Argo Bina, Logging RAPP RT 1 RW 2 Dusun I Harapan Sekijang, seluas 110 hektare (Ha) dengan harga Rp 20 juta per Ha.
Maret 2002, Tengku Azmun Jaafar bersama terdakwa Syahrizal Hamid bertemu dengan David Chandra, pemilik lahan di Hotel Sahid, Jakarta, menyepakati harga pembelian lahan. Selanjutnya, David Chandra menyerahkan surat tanah berupa foto copy atas nama masyarakat sebanyak 57 set.
Kemudian Tengku Azmun Jaafar memerintahkan terdakwa Lahmudin untuk menyerahkan dana uang muka pembelian tanah kepada Syahrizal sebesar Rp 500 juta, dan Marwan Ibrahim menyetujuinya. Yang mana dana tersebut dari APBD 2002.
Namun, permasalahan timbul dalam pembebasan lahan tanah perkantoran tersebut. Tahun 2002 pernah di bebaskan dan di ganti rugi oleh Pemkab Pelalawan. Kemudian, lahan tersebut diurus ulang atas nama keluarga terdakwa Syahrizal. Ganti rugi ini dilakukan lagi dari tahun 2007 hingga tahun 2011. Sehingga biaya yang dikeluarkan dengan menggunakan dana APBD tiap tahunnya beragam.
Akibat Perbuatan keempat terdakwa yang telah memperkaya diri sendiri maupun bersama sama dengan pihak (pejabat) lain. Sehingga negara menderita kerugian sebesar Rp38.087.239.600.
Dalam rincian dakwaan JPU, Lahmudin memperkaya diri sendiri dengan menilap uang negara sebesar Rp 3.115.000 000. Syahrizal Hamid sebesar Rp 6.617.945.000. Al Azmi sebesar Rp 1.154.650.100. Tengku Azmun Rp 12.600.000.000. Drs H Marwan Ibrahin Rp 1.500.000.000.. Para pegawai BPN Pelalawan Rp 3.910.000.000. Serta nama nama yang tertera pada SHM sebesar Rp 385.532.500 dan orang lainnya sebesar Rp 2.907.762.000,.
Akibat perbuatannya, keempat tersangka ini dijerat dengan pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 Undang-Undang No.31/1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU No.20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Dengan ancaman penjara maksimal 20 tahun, dan atau hukuman mati.
Sumber: http://www.merdeka.com
Artikel Terkait:
0 komentar :
Posting Komentar